Selasa, 14 Februari 2012

atakiwang

Jumat, 22 Juli 2011

ABRASI PANTAI KOLAKA

Masyarakat desa Kolaka (Koli Datang dan Laka) di kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur yang merupakan salah satu desa sasaran program Building Resilience kerja sama dengan YPPS sudah lama menghadapi ancaman abrasi pantai selain gempa bumi dan kekeringan. Kepala Desa Kolaka Bartolomeus mengatakan, tidak disadari, abrasi pantai di wilayahnya terus merangsek setiap hari memasuki wilayah yang semula menjadi arena aktivitas masyarakat seperti bertani dan memproduksi garam.
Menghadapi ancaman ini, Kepala desa dan masyarakat Kolaka mengalami kesulitan melakukan pencegahan. Hal ini dibahas dalam kajian partisipatif masyarakat dan sekolah (SMP Negeri III Tanjung Bunga) dalam menilai kapasitas dan kerentanan di desa itu.
Selain ancaman kekeringan dan gagal panen, abrasi menjadi perhatian. Karena itu, baik masyarakat maupun Sekolah melakukan upaya-upaya pengurangan risiko abrasi. Sampai saat ini belum ada upaya yang menjanjikan yang sangat diandalkan. Sejauh ini, masyarakat mengenal program penanaman Mangrove, namun upaya ini sering gagal oleh terjangan ombak.
Memperbanyak tanaman kayu-kayuan di daerah pesisir merupakan salah satu pilihan yang saat ini dilakukan masyarakat dan murid-murid sekolah. Vincensia Tekla Namang, guru pembina pramuka pada SMP Negeri III Tanjung Bunga mengatakan, ancaman ini menjadi tantangan baginya dan murid-muridnya untuk melakukan upaya-upaya pengurangan risiko dan ancaman abrasi. Untuk itu, bersama anak-anak pramuka binaannya dan YPPS telah melakukan identifikasi ancaman di pantai dan memutuskan untuk melakukan penanaman pohon-pohon di sepanjang pantai. Dipilih jenis pohon yang mudah didapatkan dan mudah ditanam serta bisa beradaptasi dengan lingkungan pantai. Karena itu, tanaman pohon-pohonan yang selama ini hidup ramah di pesisir pantai Kolaka diperbanyak. Keputusan inilah yang mendorong anak-anak sekolah pada SMP Negeri III Tanjung Bunga melakukan aksi penanaman gamal dan waru di sepanjang pantai kolaka menghadap kompleks SMP dan pemukiman penduduk.
Selain menanam pohon sebagai pilihan paling murah dan mudah, masyarakat Kolaka dan Sekolah dalam hal ini SMP Negeri III Tanjung Bunga berupaya membangun tanggul penghambat ombak. Kegiatan ini disadari memerlukan biaya yang besar. Karena itu, menggunakan dukungan small grant program BR melalui YPPS, dibangun tanggul penghambat gelombang sepanjang 50 meter. Pembangunan tanggul ini menggunakan cincin sumur beton yang diproduksi oleh penduduk. Cincin sumur ini ditanami berjejer di sepanjang pantai dan bagian dalamnya diisi penuh pasir laut. Pengamatan lapangan, cara ini cukup efektif karena terjangan gelombang ternyata semakin memperkuat tanggul ini dengan timbunan pasir.
Kepala Desa Kolaka Bartolomeus mengatakan, model ini akan dipromosikan ke pemrintah kabupaten melalui Dinas PU dan Dinas Kelautan untuk mendukung kelanjutan pembangunannya. ***

Minggu, 09 Januari 2011

POTENSI BANJIR

Ramalan yang dirilis BMG akan terjadi potensi bencana di sejumlah tempat. Di kabupaten Flores Timur, demikian BMG, potensi hujan yang bisa berakibat terjadi bencana banjir akan terjadi di kecamatan Larantuka antara bulan Desember 2010 hingga Februari 2011.

Jumat, 07 Mei 2010

EMBUN DI ATAS DAUN

Gerimis kecil-kecil membasahi Wisma Sesabanu, Minggu, 10 Januari 2010. Marsel Payong, putera Desa Bungalawan, Adonara Timur melangkah malumalu menuju aula rumah kedamaian di Hokeng itu. Setelah mengisi buku tamu, Marsel menuju biliknya. Menaruh tas di bilik lalu menuju ruang minum. Kopi Hokeng menjadi pilihanya, mengusir dahaga di senja sepi.

Sore itu, para peserta Pelatihan Managen Bencana Berbasis Masyarakat atau yang dikenal dengan sebutan mentereng Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) tiba di tempat pelatihan.

Pelatihan diselenggarakan oleh Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Flores
Timur atas dukungan Oxfam GB.

Ketika bincang-bincang tentang pengalaman bencana, Marsel Payong bilang kepada temanteman
peserta bahwa gempa bumi 1992 membuatnya begitu ketakutan. “Goyangannya begitu dahsyat,
membuat semua bangunan hancur”, kenang Marsel.

Lain lagi pengalaman Flori Bura dari Ilebura. “Pengalaman bencana yang tak terlupakan adalah meletusnya gurung Lewotobi. Desa kami berada di kaki gunung api ini. Dampaknya begitu kami rasakan” kata Flori dengan mata berkaca-kaca. Senanda dengannya, Maria Florentina dari Ilebura bercerita bahwa pengalamannya yang berkaitan dengan bencana adalah kebakaran. Kebakaran mengakibatkan hangusnya kebun dan hutan, hancurnya sumber-sumber penghidupan bagi manusia.

Selama tiga hari di Wisma Sesabanu, para peserta pelatihan bergulat dengan pengalaman
kebencanaan dan mencoba memaknainya. Darinya, lahirlah gagasan-gagasan tentang pengurangan risiko bencana. Bahwasanya, bencana tak dapat dihindari. Namun, risikonya dapat dikurangi. Di titik inilah, para peserta pelatihan menggagas paradigma penanganan kebencanaan berbasis masyarakat sambil tidak melupakan sejumlah kearifan lokalnya. Pelatihan difasilitasi oleh Melki Koli Baran, Direktur Eksekutif YPPS dan Piter Embu Gusi, dari LBH Nusra.

Pengalaman menghadapi bencana telah menjadi pengalaman bersama dewasa ini. Entah bencana
alam, bencana industri maupun bencana sosial. Ketika terjadi bencana, peristiwanya serta dampakdampaknya mudah disaksikan hingga ke pelosokpelosok berkat tersedianya sarana-sarana komunikasi. Sejalan dengan itu, kita juga mudah menyaksikan berbagai kegiatan
menanggapi terjadinya bencana.

Kejadian bencana mengundang aksi solidaritas berbagai pihak. Pemerintah dan kalangan swasta bergerak mengurangi risiko-risiko yang ditimbulkan oleh kejadian bencana tesebut. Bencana menjadi sarana terbangunnya solidaritas antara manusia.

Dalam konteks serupa, Pater Piet Nong, SVD yang dalam pelatihan ini hadir memberikan pencerahan reflektif menegaskan, solidaritas berarti kesetiakawanan dengan sesame cipataan. Karenanya, menurut pastor sosiolog ini, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan. Pertama,
compassion/belarasaa; merasa menderita bersama yag lain, termasuk dengan alam ciptaan. Ketika pohon tumbang kita juga semestinya merasakan sakit. Kedua, communion/panguyuban; adanya perasaan disatukan. Ketiga, collaboration/kerja sama; bertindak atau bergerak bersama orang lain.

Hemat Piter Embu Gusi refleksi Pater Piet merupakan sebuah nilai positif bagi keselamatan
manusia. Keselamatan itu dimulai dan bermula dari solidaritas. Dan untuk mencapai hal ini, bisa
dimulai dari hal-hal kecil. Thomas Doni Liat, Kepala Desa Bungalawan-Adonara melihat bahwa
hal-hal kecil itu sudah nampak dalam komunitas-komunitas minoritas di desa-desa yang memiliki nilai-nilai adat budaya.

Sejalan dengan seringnya terjadi bencana dan terbangunnya aksi-aksi solidaritas, tak tertutup
kemungkinan untuk menempatkan masyarakat/komunitas korban sebagai pihak yang umumnya
tidak berdaya. Menjadi pihak yang sepenuhnya berharap pada rasa solidaritas pihak lain. Kondisi ini dapat saja secara sistematis membangun konsep bahwa ketika terjadi bencana, masyarakat korban menunggu untuk dibantu.

Dalam konteks managemen bencana, sedang dikembangkan konsep management bencana yang
diharapkan menempatkan komunitas korban bukan sebagai pihak yang menunggu bantuan semata dari pihak luar. Sebab, ketika bantuan pihak luar belum masuk ke sebuah komunitas yang tertimpa bencana, komunitas tersebut tentu memiliki upaya untuk mempertahankan hidup dan meringankan derita atau mengurangi risiko kehancuran, kesakitan dan kematian. Konsep ini meyakini bahwa korban bisa menolong dirinya sebelum bantuan dari luar tiba.

Inilah konsep Management Bencana Berbasis masyarakat (Community Based Disaster Risk
Management) yang disingkat CBDRM. Konsep ini sangat mengandalkan kemampuan (kapasitas)
masyarakat setempat yang dapat secara bergotong royong mengurangi risiko bencana atau
meringankan beban yang ditimbulkan oleh kejadian bencana.

Dalam kerangka mengembangkan managemen pengurangan risiko bencana, kapasitas masyarakat lokal perlu difasilitasi dan didayagunakan, agar masyarakat korban tidak larut dalam kesedihan dan ketak berdayaan tetapi bangkit bersama mengembangkan sistem bersama untuk tangguh dan bisa bangun dari kehancuran.

Sebelum bantuan luar tiba, masyarakat korban harus bisa membantu diri sendiri. Demikian pula
fase sebelum bencana atau tahap kesiap siagaan dan fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam
keseluruhan siklus bencana, kekuatan masyarakat lokal atau komunitas setempat haruslah menjadi andalan. Sangat diyakini bahwa masyarakat memiliki kapasitas yang tersebar dalam seluruh sumber daya yang dimiliki masyarakat, baik alam, manusia, finansil, infrastruktur dan sosial.

Inilah embun-embun kekuatan yang memberi warna khas bagi komunitaskomunitas korban.
Warga komunitas perlu merefleksikan ulang dan memperkuat kembali sistem-sistem sosial
komunitasnya sebagai embun kekuatan menghadapi potensi-potensi terjadi bencana. Setiap komunitas dan desa tentu memiliki kearifan dan pranata lokal yang sesungguhnya menjadi kekuatan bersama. Hal ini haruslah menjadi media belajar bersama di antara masyarakat.
Apapun dan siapapun komunitas korban, tentu memiliki embun kekuatan untuk bangkit dari
situasi bencana yang tak mengenakkan. Embun akan selalu ada di atas daun sebelum terurai dan
terjatuh di rerumputan.

(Artikel ini ditulis Anselmus Atasoge untuk HU
Flores Pos dan dimuat Flores Pos tanggal 1 Februari
2010)**

Selasa, 26 Januari 2010

Perlindungan Buruh Migran Isi Percakapan Udara akhir Tahun

Mengakhiri tahun 2009, tepatnya tanggal 30 Desember 2009, Delsos Keuskupan Larantuka dan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) menggelar percakapan di udara tentang perlindungan para pekerja perantau. Percakakapan di udara itu berlangsung di studio utama Radio Siaran Pemerintah Kabupaten Flores Timur dan dipancarluaskan ke desa-desa di sebagian kabupaten Flores Timur. Percakapan interaktif yang melibatkan para pendengar di rumah dan di desa-desa melalui sambungan telepn studio itu dilaksanakan atas dukungan Yayasan Tifa Jakarta dan ANTARA-AuSaid kerja sama kemitraan pemerintah RI dan Australia.

Percakapan udara yang memakan durasi satu jam dengan jedah lima menit ini menghadirkan Romo Yansen Raring dari Delsos Keuskupan Larantuka dengan posisi mempertanggungjawabkan program Pemberdayaan Buruh Migran di Daerah Asal yang sedang dikembankan, ibu Thilde Wungubelen dari Dinas Sosial dan Nakertrans Kabupaten Flores Timur untuk menjelaskan peran dan tanggungjawab pemerintah dalam upaya perlindungan Buruh Migran dan Krisantus Kwen dari Perusahaan Pengerah Tenaga Terja Indonesia Awasta (PPTKIS) Anugerah Usaha Jaya (AUJ) untuk menjelaskan proses-proses perekrutan dan pengiriman Tenaga Kerja yang aman yang diterapkan perusahaan. Para nara sumber ini dipandu oleh Melky Koli Baran.

Obrolan para narasumber ini ternyata kurang proporsional untuk masing-masingnya memberikan pemaparan-pemaparan sesuai posisinya karena bergitu bertubi-tubinya partisipasi masyarakat atau pendengar hingga ke desa-desa yang melayangkan sambungan telepon ke studio. Pesawat telepon terus berdering dari para pendengar dalam tempo sejam ini. Akibatnya, sebelum para nara sumber tuntas menyampaikan penjelasan-penjelasan sesuai yang diminta, para pendengar telah terlebih dahulu memberondongi dengan berbagai pertanyaan.

Dari duapuluhan penelpon yang direspon (beberapa yang tidak sempat direspon) umumnya menyampaikan keluh kesah dan kegelisahan seputar mekanisme perekrutan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan yang menyimpan berbagai persoalan. Juga gencarnya media-media komunikasi yang menyiarkan dan memberitakan berbagai tindak kekerasan terhadap para pekerja migran di tempat kerja maupun sejumlah kasus pelecehan dan kekerasan di tempat latihan dan penampungan yang jsutru melatarbelakangi gusarnya para penelpon mendominasi percakapan udara ini.

Obrolan interaktif yang dimulai pukul 19.00 hingga 20.000 Wita itu ketika hendak diakhiri, pesawat telepon di studio masih terrus berdering.

Peluncuran Program Building Resilience

Bertempat di aula kantor Camat Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Bupati Flores Timur Drs. Simon Hayon meluncurkan Program Building Resilience – program penguatan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi ancaman dan resiko becnana.

Peluncuran program yang difasilitasi Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) atas dukungan Oxfam GB itu berlangsung tanggal 9 Desember 2009 bertepatan dengan peringatan hari Anti Korupsi sedunia.

Pada kesempatan ini, hadir para stakeholder yang akan terlibat dan difasilitasi dalam program ini. Ada utusan lima desa sasaran program di Kabupaten Flores Timur (desa Nobo, Nuri, Birawan di Kecamatan Ile Bura, Kelurahan Lamatewelu di Kecamatan Adonara Timur dan desa Bungalawan di kecamatan Ile Boleng) dan tim pelaksana program untuk lima desa di Kabupaten Sikka, utusan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait di lingkup Pemerintah Kabupaten Flores Timur, camat Ile Bura Yosef T. Dolu, ST dan segenap staf pemerintah Kecamatan, utusan Delsos Keuskupan Larantuka dan utusan Word Vision Indonesia (WVI) di kabupaten Flores Timur, Kepala Kepolisian Sektor Wulanggitang, Polres Flores Timur. Utusan dari desa-desa sasaran program terdiri dari para Kepala Desa dan aparat desa, para Kepala Sekolah di lima desa sasaran serta para organiser komunitas (CO) di setiap desa sasaran. Dari unsur SKPD hadir utusan Bapeda, dinas Pertanian dan Peternakan serta Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan KB.

Setelah didaulat panitya bersama yang terdiri dari YPPS dan Pemerintah Kecamatan Ile Bura untuk memberikan pengarahan dan peluncurkan program Building Resilience untuk dilaksanakan, Bupati Flores Timur menggunakan waktu sekitar satu jam lebih untuk menyampaikan sejumlah pesan pembangunan untuk warga kecamatan Ile Bura, Flores Timur umumnya, dan terkhusus desa-desa sasaran program Building Resilience.

Menurut Simon Hayon, pengurangan resiko bencana atau bersiaga bertahan menghadapi ancaman bencana perlu dipahami bersama sebagai upaya bersama memperbaiki cara hidup atau budi adat. Berbagai definisi ilmiah bisa dikedepankan dalam memahami program ini dalam upaya menciptakan ketangguhan masyarakat. Namun menurutnya, harus dipahami secara seimbang dari dua pendekatan.

Kedua pendekatan itu, demikian Simon Hayon, merupakan pendekatan ilmiah yang disebutnya pendekatan dari bawah – pendekatan yang berpijak dari bumi yang harus diimbangi dengan pendekatan dari atas – pendekatan yang bersifat penghayatan untuk membangun kesadaran dan jati diri. Menurutnya, bencana bisa saja terjadia atau semakin besar resiko dan tingkat kerusakannya karena pemahaman-pemahaman hidup bersama yang tidak seimbang, yang hanya mengandalkan kajian-kajian dan analisis ilmiah semata dan mengabaikan penghayatan, mengabaikan kultur-kultur lokal, mengabaikan kearifan-kearifan masyarakat, mengabaikan perspektif masyarakat sehingga partisipasi masyarakat semakin mundur.

Apa yang dikemukakan ini baik adanya, mengingat, bencana-bencana sosial maupun alam tidak dapat disangkal berakar dari cara pandang yang salah terhadap alam lingkungan dan terhadap relasi-relasi sosial kemasyarakatan. Budi adat dan tata aturan bersama yang diabaikan bisa melahirkan salah paham dan konflik, yang bisa melebar ke konflik sosial. Demikian juga cara pandang yang salah terhadap alam lingkungan, yang mengabaikan pesan-pesan kesakralan alam dapat menjadi sebab perilaku masyarakat yang merusak alam. Penebangan hutan secara membabi buta, kebakaran lahan yang berakibat semakin menaikan tingkat pemanasan bumi sampai pada banjir dan longsor di musim hujan adalah contoh telanjang dari penghayatan dan cara pandang yang salah terhada alam. Manusia yang bertumbuh mengejar keuntungan sebesar-besarnya telah membuatnya bermental eksploitatif dan merusak. Bumi menjadi panas dan terus bergoncang, kehidupan menjadi tidak nyaman, bentrokan sosial terjadi di mana-mana lalu lahirlah resiko-resiko yang ditanggung bersama.

Dalam sesi diskusi bersama setelah peluncuran program oleh Bupati, Cipto Keraf, M.Si dari Bepada Kabupaten Flores Timur melontarkan perlunya difasilitasi forum kolaborasi para pihak untuk sama-sama memberi masukan dan merancang bangun program-program pembangunan daerah dengan analisis pada Pengurangan Resiko bagi kehidupan bersama. Menurutnya, analisis resiko merupakan salah satu hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan mulai dari bawah.

Melky Koli Baran dari YPPS dalam diskusi itu menyampaikan bahwa dalam program ini salah satu sasaran adalah membangun pemahaman berbagai stakeholders pembangunan untuk menjadikan pengurangan resiko sebagai salah satu analisis dalam setiap perencanaan pembangunan.

Menurut Melky, berbagai program pembangunan jika dikaji, aspek pengurangan resiko belum mmenjadi perspektif dan pengarusutamaan dalam seluruh siklus pembangunan. Contohnya, jika ada gedung yang rusak dirubuhkan angin, justru proses pembangunan ulang tidak memperbaiki kualitas bangunannya agar lebih tahan terhadap ancaman angin di tahun-tahun mendatang.

Secara khusus dalam management bencana pun, masih sangat parsial. Hal ini ditandai belum banyak daerah kabupaten yang melaksanakan UU nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dari segi struktur pemerintahan, masih banyak kabupaten termasuk Flores Timur yang hanya memiliki Satkorlak Kabupaten yang berada di Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat.

Pendapat Melky, Satkorlak memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang sangat terbatas dan bersifat merespon kejadian bencana dengan layanan darurat. Dari segi budgeting juga hanya dicadangkan dana untuk tanggap darurat jika terjadi bencana. Jika diletakan dalam siklus managemen bencana, maka ada fase penting yang lolos dari perhatian pembangunan yakni fase kesiapsiagaan. Fase ini berlangsung dalam masa-masa normal di mana tidak terjadi bencana. Fase ini selalu diisi dengan berbagai kegiatan pembangunan.

Jika pembangunan berperspektif pengurangan resiko maka pada fase kesiapsiagaan, seluruh pembangunan dalam sebuah kabupaten akan dilaksanakan dalam rangka memitigasi resiko jika tiba-tiba saja terjadi bencana. Juga hidup masyarakat menjadi lebih aman dan nyaman karena dilindungi oleh managemen pembangunan yang berkualitas.

Pembangunan perlu dirancang dan dilaksanakan dengan tingkat ketangguhan yang disesuaikan dengan tingkat ancaman wilayah, sehingga jika terjadi bencana, resiko yang ditimbulkan sangat minim. Resiko kerusakan bangunan dan infrastruktur akan sangat minim jika analisis pembangunan infrastruktur memperhitungkan tingginya ancaman wilayah. Demikian pula dengan ancaman bagi kelanghsungan penghidupan penduduk. Sistem pertanian yang dirancang di daerah pertanian juga hendaknya memperhitungkan kerentanan wilayah dan tingginya ancaman sehingga kasus gagal panen diperkecil.

Para kepala desa dan para guru yang hadir pada momentum itu memberi apresiasi dan mengharapkan agar perencanaan pembangunan perlu selalu mempertimbangkan resiko-resiko dan tingkat kerentanan wilayah.

Untuk itu, dalam program ini, YPPS atas dukungan kerja sama Oxfam GB telah mengalokasikan sejumlah muatan penyadaran partisipatif bagi warga masyarakat dan juga para pihak, seperti latihan memahami siklus bencana, pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat dan berbasis kapasitas daerah, analisis kapasitas dan kerentanan, fasilitasi proses-proses perencanaan komunitas secara partisipatif dll. ***

Senin, 19 Oktober 2009

GUNUNG API LEWOTOBI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Gunung Api Lewotobi di Kabupaten Flores Timur merupakan salah satu gunung api aktif di Flores. Beda dengan gunung api lainnya, gunung ini memiliki dua puncak. Masyarakat Flores Timur bisa membedakan jenis kelamin kedua puncak ini. Puncak kiri yang berbentuk tumpul berjenis kelamin laki-laki dan puncak kanan berpuncak agak tajam berjenis kelamin laki-laki. Karena itu, gunung api ini disebut gunung api Lewotobi laki-laki dan perempuan.

Letusan terakhir terjadi tahun 2003. Letusan gunung ini selain menghanguskan hutan di lerengnya yang menghadap ke laut utara di kecamatan Ilebura, juga merusak atap-atap rumah penduduk dan tanaman para petani. Selain itu, dari gunung api ini, selalu tersedia pasir berkualitas sebagai bahan bangunan untuk masyarakat di Larantuka dan sekitarnya.

Menghadap ke kecamatan Wulanggitang, letusan gunung api ini juga mengirim abu panas dan pasir. Pada musim hujan cenderung dari daerah aliran lahar mengalir deras banjir yang mengancam pemukiman penduduk di lerengnya, seperti Klatanlo dan Wolorona di Hokeng.

Dari kedua kecamatan yang mengelilingi gunung api ini, kecamatan Ilebura yang lebih rawan alammya. Kecamatan ini selain kering kerontang ditimbuni kelikir dan pasir yang mengalir dari pincak Lewotobi, juga berhimpitan dengan laut. Lahan pertanian di kecamatan ini sangat kering. Lain dengan Kecamatan Wulanggitang di selatan Lewotobi.***

(Foto puncak Lewotobi laki-laki dan perempuan - diambil dari desa Eputobi dengan latar depan pulau Konga - foto: melky koli baran)