Selasa, 26 Januari 2010

Peluncuran Program Building Resilience

Bertempat di aula kantor Camat Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Bupati Flores Timur Drs. Simon Hayon meluncurkan Program Building Resilience – program penguatan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi ancaman dan resiko becnana.

Peluncuran program yang difasilitasi Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) atas dukungan Oxfam GB itu berlangsung tanggal 9 Desember 2009 bertepatan dengan peringatan hari Anti Korupsi sedunia.

Pada kesempatan ini, hadir para stakeholder yang akan terlibat dan difasilitasi dalam program ini. Ada utusan lima desa sasaran program di Kabupaten Flores Timur (desa Nobo, Nuri, Birawan di Kecamatan Ile Bura, Kelurahan Lamatewelu di Kecamatan Adonara Timur dan desa Bungalawan di kecamatan Ile Boleng) dan tim pelaksana program untuk lima desa di Kabupaten Sikka, utusan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait di lingkup Pemerintah Kabupaten Flores Timur, camat Ile Bura Yosef T. Dolu, ST dan segenap staf pemerintah Kecamatan, utusan Delsos Keuskupan Larantuka dan utusan Word Vision Indonesia (WVI) di kabupaten Flores Timur, Kepala Kepolisian Sektor Wulanggitang, Polres Flores Timur. Utusan dari desa-desa sasaran program terdiri dari para Kepala Desa dan aparat desa, para Kepala Sekolah di lima desa sasaran serta para organiser komunitas (CO) di setiap desa sasaran. Dari unsur SKPD hadir utusan Bapeda, dinas Pertanian dan Peternakan serta Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan KB.

Setelah didaulat panitya bersama yang terdiri dari YPPS dan Pemerintah Kecamatan Ile Bura untuk memberikan pengarahan dan peluncurkan program Building Resilience untuk dilaksanakan, Bupati Flores Timur menggunakan waktu sekitar satu jam lebih untuk menyampaikan sejumlah pesan pembangunan untuk warga kecamatan Ile Bura, Flores Timur umumnya, dan terkhusus desa-desa sasaran program Building Resilience.

Menurut Simon Hayon, pengurangan resiko bencana atau bersiaga bertahan menghadapi ancaman bencana perlu dipahami bersama sebagai upaya bersama memperbaiki cara hidup atau budi adat. Berbagai definisi ilmiah bisa dikedepankan dalam memahami program ini dalam upaya menciptakan ketangguhan masyarakat. Namun menurutnya, harus dipahami secara seimbang dari dua pendekatan.

Kedua pendekatan itu, demikian Simon Hayon, merupakan pendekatan ilmiah yang disebutnya pendekatan dari bawah – pendekatan yang berpijak dari bumi yang harus diimbangi dengan pendekatan dari atas – pendekatan yang bersifat penghayatan untuk membangun kesadaran dan jati diri. Menurutnya, bencana bisa saja terjadia atau semakin besar resiko dan tingkat kerusakannya karena pemahaman-pemahaman hidup bersama yang tidak seimbang, yang hanya mengandalkan kajian-kajian dan analisis ilmiah semata dan mengabaikan penghayatan, mengabaikan kultur-kultur lokal, mengabaikan kearifan-kearifan masyarakat, mengabaikan perspektif masyarakat sehingga partisipasi masyarakat semakin mundur.

Apa yang dikemukakan ini baik adanya, mengingat, bencana-bencana sosial maupun alam tidak dapat disangkal berakar dari cara pandang yang salah terhadap alam lingkungan dan terhadap relasi-relasi sosial kemasyarakatan. Budi adat dan tata aturan bersama yang diabaikan bisa melahirkan salah paham dan konflik, yang bisa melebar ke konflik sosial. Demikian juga cara pandang yang salah terhadap alam lingkungan, yang mengabaikan pesan-pesan kesakralan alam dapat menjadi sebab perilaku masyarakat yang merusak alam. Penebangan hutan secara membabi buta, kebakaran lahan yang berakibat semakin menaikan tingkat pemanasan bumi sampai pada banjir dan longsor di musim hujan adalah contoh telanjang dari penghayatan dan cara pandang yang salah terhada alam. Manusia yang bertumbuh mengejar keuntungan sebesar-besarnya telah membuatnya bermental eksploitatif dan merusak. Bumi menjadi panas dan terus bergoncang, kehidupan menjadi tidak nyaman, bentrokan sosial terjadi di mana-mana lalu lahirlah resiko-resiko yang ditanggung bersama.

Dalam sesi diskusi bersama setelah peluncuran program oleh Bupati, Cipto Keraf, M.Si dari Bepada Kabupaten Flores Timur melontarkan perlunya difasilitasi forum kolaborasi para pihak untuk sama-sama memberi masukan dan merancang bangun program-program pembangunan daerah dengan analisis pada Pengurangan Resiko bagi kehidupan bersama. Menurutnya, analisis resiko merupakan salah satu hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan mulai dari bawah.

Melky Koli Baran dari YPPS dalam diskusi itu menyampaikan bahwa dalam program ini salah satu sasaran adalah membangun pemahaman berbagai stakeholders pembangunan untuk menjadikan pengurangan resiko sebagai salah satu analisis dalam setiap perencanaan pembangunan.

Menurut Melky, berbagai program pembangunan jika dikaji, aspek pengurangan resiko belum mmenjadi perspektif dan pengarusutamaan dalam seluruh siklus pembangunan. Contohnya, jika ada gedung yang rusak dirubuhkan angin, justru proses pembangunan ulang tidak memperbaiki kualitas bangunannya agar lebih tahan terhadap ancaman angin di tahun-tahun mendatang.

Secara khusus dalam management bencana pun, masih sangat parsial. Hal ini ditandai belum banyak daerah kabupaten yang melaksanakan UU nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dari segi struktur pemerintahan, masih banyak kabupaten termasuk Flores Timur yang hanya memiliki Satkorlak Kabupaten yang berada di Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat.

Pendapat Melky, Satkorlak memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang sangat terbatas dan bersifat merespon kejadian bencana dengan layanan darurat. Dari segi budgeting juga hanya dicadangkan dana untuk tanggap darurat jika terjadi bencana. Jika diletakan dalam siklus managemen bencana, maka ada fase penting yang lolos dari perhatian pembangunan yakni fase kesiapsiagaan. Fase ini berlangsung dalam masa-masa normal di mana tidak terjadi bencana. Fase ini selalu diisi dengan berbagai kegiatan pembangunan.

Jika pembangunan berperspektif pengurangan resiko maka pada fase kesiapsiagaan, seluruh pembangunan dalam sebuah kabupaten akan dilaksanakan dalam rangka memitigasi resiko jika tiba-tiba saja terjadi bencana. Juga hidup masyarakat menjadi lebih aman dan nyaman karena dilindungi oleh managemen pembangunan yang berkualitas.

Pembangunan perlu dirancang dan dilaksanakan dengan tingkat ketangguhan yang disesuaikan dengan tingkat ancaman wilayah, sehingga jika terjadi bencana, resiko yang ditimbulkan sangat minim. Resiko kerusakan bangunan dan infrastruktur akan sangat minim jika analisis pembangunan infrastruktur memperhitungkan tingginya ancaman wilayah. Demikian pula dengan ancaman bagi kelanghsungan penghidupan penduduk. Sistem pertanian yang dirancang di daerah pertanian juga hendaknya memperhitungkan kerentanan wilayah dan tingginya ancaman sehingga kasus gagal panen diperkecil.

Para kepala desa dan para guru yang hadir pada momentum itu memberi apresiasi dan mengharapkan agar perencanaan pembangunan perlu selalu mempertimbangkan resiko-resiko dan tingkat kerentanan wilayah.

Untuk itu, dalam program ini, YPPS atas dukungan kerja sama Oxfam GB telah mengalokasikan sejumlah muatan penyadaran partisipatif bagi warga masyarakat dan juga para pihak, seperti latihan memahami siklus bencana, pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat dan berbasis kapasitas daerah, analisis kapasitas dan kerentanan, fasilitasi proses-proses perencanaan komunitas secara partisipatif dll. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar