Senin, 19 Oktober 2009

GUNUNG API LEWOTOBI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Gunung Api Lewotobi di Kabupaten Flores Timur merupakan salah satu gunung api aktif di Flores. Beda dengan gunung api lainnya, gunung ini memiliki dua puncak. Masyarakat Flores Timur bisa membedakan jenis kelamin kedua puncak ini. Puncak kiri yang berbentuk tumpul berjenis kelamin laki-laki dan puncak kanan berpuncak agak tajam berjenis kelamin laki-laki. Karena itu, gunung api ini disebut gunung api Lewotobi laki-laki dan perempuan.

Letusan terakhir terjadi tahun 2003. Letusan gunung ini selain menghanguskan hutan di lerengnya yang menghadap ke laut utara di kecamatan Ilebura, juga merusak atap-atap rumah penduduk dan tanaman para petani. Selain itu, dari gunung api ini, selalu tersedia pasir berkualitas sebagai bahan bangunan untuk masyarakat di Larantuka dan sekitarnya.

Menghadap ke kecamatan Wulanggitang, letusan gunung api ini juga mengirim abu panas dan pasir. Pada musim hujan cenderung dari daerah aliran lahar mengalir deras banjir yang mengancam pemukiman penduduk di lerengnya, seperti Klatanlo dan Wolorona di Hokeng.

Dari kedua kecamatan yang mengelilingi gunung api ini, kecamatan Ilebura yang lebih rawan alammya. Kecamatan ini selain kering kerontang ditimbuni kelikir dan pasir yang mengalir dari pincak Lewotobi, juga berhimpitan dengan laut. Lahan pertanian di kecamatan ini sangat kering. Lain dengan Kecamatan Wulanggitang di selatan Lewotobi.***

(Foto puncak Lewotobi laki-laki dan perempuan - diambil dari desa Eputobi dengan latar depan pulau Konga - foto: melky koli baran)

YPPS AKAN SEGERA LUNCURKAN PROGRAM BUILDING RESILIENCE

Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) di Flores Timur akan segera meluncurkan program barunya. Program baru ini untuk mefasilitasi penguatan kapasitas masyarakat, pemerintah daerah dan para pihak untuk pengurangan resiko bencana.

Program kerja sama dengan Oxfam GB ini akan berlangsung selama tiga tahun ke depan, dimulai tahun 2009. Lokasi belajar mengambil tempat di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Sikka. Karena itu, YPPS selaku penanggungjawab program ini telah mempersiapkan tim program di Maumere yang akan ditangani langsung oleh Wahana Tani mandiri kabupaten Sikka.

Sebagai media belajar penguatan kapasitas untuk pengurangan resiko bencana, program ini mengambil jenis ancaman letusan Gunung Api. Di Flores Timur lokasi belajar bertempat di Kecamatan Ilebura untuk ancaman gunung api Lewotobi laki-laki dan perempuan serta kecamatan Adonara Timur di pulau Adonara untuk ancaman gunung api Ileboleng.

Di Ilebura akan ditentukan secara partisipatif bersama pemerintah kecamatan dan pemerintah desa 4 desa sebagai daerah belajar bersama masyarakat menganalisis ancaman dan resiko serta 1 desa di Kecamatan Adonara Timur untuk menganalisis ancaman dan resiko konflik. Di Kabupaten Sikka dipilih 5 desa di kecamatan waigete.

Camat Ilebura Drs. Yos Tua Dolu disela-sela peringatan HPS di Hokeng 14 Oktober mengatakan kesiapannya bersama staf kecamatan membantu YPPS dalam pelaksanaan program ini di Ilebura. Menurutnya, program ini akan semakin mengintegrasikan masyarakat ke dalam ketahanan menghadapi resiko. Di kecamatan ini sedang bekerja VVI yang memfasilitasi bantuan pendidikan dan Delsos Keuskupan Larantuka yang memfasilitasi program food security serta YPPS yang memfasilitasi gerakan menanam berbasis sekolah.

Selain masyarakat umumnya, program di dua kabupaten ini akan memberi perhatian juga pada penguatan kapasitas sekolah dalam besiaga menghadapi ancaman.

Pejabat di Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (KESBANGPOLLINMAS) Kabupaten Flores Timur yang menangani bagian Linmas mengatakan, Flores Timur memiliki sejumlah ancaman (multi hazard). Ada ancaman alam seperti gunung api dan longsor, banjir, kekeringan tetapi juga ancaman wabah penyakit dan konflik sosial.

Disebutkannya, di kecamatan Adonara Timur sedang difasilitasi penyelesaian konflik sosial Tobi Lewokelen.

Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Flores Timur Drs. Isak Fredy Hormu di kantornya mengatakan, untuk mengurangi resiko bencana, telah difasilitasi pembentukan Taruna Siaga Bencana yang berjumlah 41 orang.
Management YPPS saat ini sedang memproses administrasi ke Oxfam agar program dapat diluncurkan tepat waktu. Disencanama, awal November akan dilangsungkan peluncuran resmi di kantor YPPS secara internal dan bersama masyarakat dan pemerintah akan diluncurkan di Kecamatan Ilebura. Direncanakan, Bupati Flores Timur akan didaulat untuk meluncurkan program ini.

YPPS sedang mempersiapkan pembentukan tim program yang terdiri dari 14 orang dengan rincian 6 orang di Sikka dan 8 orang di Flores Timur. Pelaksanaan program di dua kabupaten ini dikoordinir langsung dari YPPS dengan penanggungjawab Yohanes Suban Kleden dan manager Melky Koli Baran.

Pada tahun pertama yang akan berlangsung selama kurang lebih 8 bulan, akan difasilitasi sejumlah kegiatan penguatan kapasitas masyarakat, pemerintah dan sekolah.

Di masyarakat, akan difasilitasi pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat yang disebut Community Base Disaster Risk Management (CBDRM). Sejumlah latihan dan analisis partisipatif desa akan difasilitasi sekaligus untuk mengenal jenis resiko dan ancaman. Juga memperkuat kapasitas masyarakat untuk sama-sama mengurangi resiko-resiko kehidupan terhadap berbagai ancaman.

Di level pemerintahan, program ini juga mengalokasikan sejumlah kegiatan penguatan kapasitas staf pemerintahan, seperti disaster management atau managemen bencana yang akan lebih memperkenalkan siklus bencana dalam program pembangunan serta standar-standar layanan bagi pengungsi dan korban bencana.

Selain itu juga memwacanakan kebijakan kabupaten untuk pengurangan resiko bencana seperti Perda dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

Di level staf program juga dialokasikan sejumlah kegiatan untuk penguatan kapasitas staf berupa latihan dan magang.

Keseluruhan program di dua kabupaten ini akan dilinkkan dengan Flores Institute for Resources Development (FIRD) yang telah berpengalaman selama dua tahun bersama Oxfam memfasilitasi pengurangan resiko bencana di kabupaten Lembata, Ende, Manggarai.

Telah disiapkan dukungan dana sebesar 1,1 milyar untuk program tahun pertama yang akan dimulai November 2009 hingga Mei 2010.***

Sabtu, 22 Agustus 2009

PEMBERDAYAAN BURUH MIGRAN INDONESIA DI DAERAH ASAL

Yayasan TIFA (The Tifa Foundation) yang berkedudukan di Jakarta telah menandatangani kontrak kerja selama setahun dengan ANTARA (Australian-Nusa Tenggara Asistence for Regional Outonomy) - kerja sama pembangunan pemerintah Indonesia dan Australi untuk pemberdayaan Buruh Migran Indonesia di daerah Asal. Program ini salah satu lokasinya di kawasan Nusa Tenggara untuk delapan bulan ke depan mulai Bulan Agustus 2009 di empat kabupaten, yakni Lombok Timur, Sumbawa, Kupang dan Flores Timur.

Di keempat Propinsi ini, Yayasan TIFA bekerja sama dengan mitra-mitranya. Koslata di Lombok Timur, ADBMI di Sumbawa, Rumah Perempuan Kupang di Kabupaten Kupang dan Delsos-PSE Keuskupan Larantuka dan YPPS di Kabupaten Flores Timur.

Untuk mulai beroperasinya program ini di daerah asal, Yayasan TIFA bersama para mitranya telah melakukan pertemuan konsolidasi program dan tekhnis-tekhnis pendokumentasian dan laporan bertempat di Hotel Puri Dalem, Sanur, Denpasar, Bali, 20-21 Agustus 2009.

Di Kabuapten Flores Timur, dan juga kabupaten lainnya, program ini akan dilaksanakan di dua level, yakni di level komunitas dengan kelompok sasaran para mantan buruh migran dan keluarga buruh migran, dan di level Pemerintah Daerah Flores Timur untuk memfasilitasi perbaikan paradigma pemerintahan yang berpihak pada penegakkan hak-hak para buruh migran. Diharapkan, pemerintah dan masayarakat sama-sama membangun iklim kehidupan di masyarakat yang memungkinkan dan mendukung terlaksananya proses-proses bermigrasi secara aman dan bermartabat.

Program ini digarap lantaran berbagai fakta kontroversial di masyarakat tentang buruh migran ke Luar Negeri yang dalam program ini disebut Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (TKILN) yang simpang siur dan belum menempatkan para TKILN sebagai bagian penting dari pelaku pembangunan di daerah asal.

Data yang belum dipeeroleh secara pasti, namun dalam survey awal di sepuluh desa di Flores Timur memperelihatkan bahwa para TKILN turut menyumbang bagi peningkatan pendapatan di daerah. Kurang lebih setiap enam bulan, para TKILN mengirim uang baik langsung ke keluarga maupun ke bank-bank yang ada di Flores Timur. Aliran uang dari TKILN ini umumnya tidak disadari sebagai bagian penting dari partisipasi para TKILN bagi pembangunan Flores Timur. Belum disadari bahwa para TKILN yang adalah orang-orang desa itu telah bekerja membanting tulang di luar negeri dan mengirim uang ke Kabupaten Flores Timur untuk digunakan oleh para elit politik dan ekonomi di kabupaten ini. Hal ini karena, akses pinjaman ke bank di Flores Timur masih didominasi para elit politik dan bisnis.

Selain memfasilitasi terbangunnya nuansa kebijakan daerah yang menghormati para TKILN, program ini juga akan memfassilitasi penghapusan berbagai pemerasan terhadap TKILN sebelum penempatan dan pasaka penembatan. Fakta buruk di pelabuhan Larantuka setiap ada kapal-kapal penumpang luar daerah yang masuk ke wilayah itu selalu terjadi pemerasan yang terkesan dibiarkan oleh aparat seperti KP3 Laut pelabuhan Larantuka. Para buruh angkut di pelabuhan Larantuka dengan dalil wilayah kerjanya seenaknya menentukan harga angkut barang-barang dari atas kapal ke pelabuhan yang mencapai ratusan sampai jutaan rupiah tergantung jenis dan berat barang serta siapa mangsanya. Program ini bercita-cita memfasilitasi publikasi berbagai aturan seperti pungutan di terminal darat, laut dan udara.

Sedangkan di tingkat komunitas, akan difasilitasi pengembangan sektor usaha dan perencanaan pengelolaan keuangan. Selain itu, merespon kasus-kasus keterpisahan antara keluarga dan para TKILN, program ini juga akan memfasilitasi pembangunan rumah Maghnetik di Larantuka yang akan dimanfaatkan oleh setiap keluarga TKILN untuk berkomunikasi dengan anggota keluarganya di Luar Negeri. Rumah ini akan dilengkapi dengan tekhnologi komunikasi internet, dan kepada para anggota keluarga TKILN juga dilatih menggunakan fasilitas ini. Selain itu, di tiga pulau Delsos akan memfasilitasi pembangunan Pusat Informkasi dan Pelayanan (PIP) yang dapat berfungsi sebagai ruang diskusi, sharyng dan juga latihan-latihan praktis.

Disaradi bahwa program ini teramat singkat sehingga sulit mencapai berbagai mimpi ini. Karena itu dalam implementasinya berbagai strategi dan pendekatan akan digunakan. Termasuk mengintensifkan komunikasi dan distribusi informasi kepada masyarakat dan dengan pemerintah daerah. Di kabupaten, diskusi-diskusi dengan para pihak akan menjadi pilihan strategis menggunakan media-media komunikasi seperti Radio dan media cetak lainnya.

Program ini juga bermimpi untuk mencoba memfasilitasi penyadaran masyarakat untuk memilih bermigrasi secara swadaya berbasis maasyarakat dan keluarga, tanpa tergantung pada jasa PJTKI. Hal ini berangkat dari pengalaman bermigrasi yang telah dijalani masyarakat Flores Timur bertahun-tahun. Hal ini juga dibenarkan oleh ibu Isna dari BNPTKI bahwa bekerja ke luar negeeri tidak hanya dengan jasa PJTKI tetapi juga dengan jasa perorangan yahg penting ada kejelasan jop order di negara tujuan. (Melky)

Selasa, 04 Agustus 2009

PERANG ATAWATUNG DENGAN LAMAU
UNTUK PEREBUTAN SUMBER AIR
Perang kedua ini terjadi dipicu perbutan sumber air pada waktu penjajahan Belanda. Pada jaman Belanda sekitar tahun 1930-an Belanda mengerahkan penduduk disepanjang Ilie Ape untuk membangun jalan sepanjang……sampai…….., Para pekerja ini melakukan penggalian tanah dikanan – kiri untuk menimbun jalan. Pada para pekerja melakukan penggalian tanah diperbatasan Lamau, mereka merasakan keanehan. Karena tanah yang digali tidak keras, tetapi malah basah. Karena penasaran pekerja ini terus melanjutkan penggalian dilokasi ini.
Penggalian terus dilakukan dan baru dihentikan ketika kedalaman lokasi tanah yang digali mencapai kedalaman kurang lebih 3 m. Pekerja ini semakin terperanjat ketika lubang tersebut mengeluarkan air. Air terus keluar sampai ketinggian 2 m dari dasar tanah galian. Berita penemuan air ini tersebar dengan cepat, dan terdengar oleh suku Lamau dan Atawatung. Kedua kubu ini saling mengklaim bahwa sumber air tersebut adalah miliknya. Mereka berdua merasa bahwa lokasi mata air tersebut berada diwilayahnya. Kubu Lamau lokasi mata air tersebut berada diwilayahnya, sementara suku Atawatung merasa tanah itu semula memang milik Lamau, karena sudah diberikan oleh Lango urang kepada suku Atawatung, sebagai hadiah atas jasanya membantu mereka dalam perang melawan suku Lewodewan.
Proses perundingan untuk menyelesaikan perselisihan sumber air ini tidak membuahkan hasil, bahkan membawa ke perang antar suku yang sebelumnya pernah terjadi. Suku Atawatung karena memiliki pasukan yang cukup besar dan kuat berhasil menduduki hampir seluruh wilayah Lamau. Merasa kekuatan yang dimiliki tidak akan mampu mengalahkan pasukan Atawatung, maka suku Lamau meminta sekutu lamanya yaitu suku Tokojaeng untuk membantu berperang menghadapi pasukan Atawatung. Perang besar antara kedua suku berlangsung sengit dengan memakan korban dari kedua belah pihak tak terhindarkan. Setelah melakukan peperangan yang cukup panjang, akhirnya suku Atawatung dapat dikalahkan dan dipukul mundur dari wilayah suku ini.
Meskipun sudah kalah suku Atawatung tetap bersikeras tidak mau mengakui hak kepemilikan sumur kepada suku Lamau. Akhir diputuskan untuk duduk merundingkan penyelesaian masalahan ini. karena tidak ada kesepakatan maka suku Atawatung mengajak suku Lamau melakukan sumpah yang isinya adalah barang siapa yang mati lebih dulu, maka dia bukan pemilik sumur tersebut. Akhirnya kedua belah pihak memutuskan untuk bersumpah.
Perselisihan kedua suku tersebut akhirnya terdengar ke raja Adonara, melihat perselisihan yang tak ujung selesai, maka raja Adonara menunjuk Kapitan Solana untuk membantu menyelesaikan perselisihan ini. Akhirnya Kapitan Solana akhirnya mengundang kedua belah pihak untuk merundingkan penyelesaian permasalahan tersebut. Kedua belah pihak menyepakati menunjuk Kapitan Solana menjadi mengatur dan saksi dalam pelaksanaan sumpah.
Kapitan Solana menjelaskan aturan pelaksanaan sumpah kepada kedua belah pihak. Pertama –tama diperintahkan kepada masing – masing pihak untuk menunjuk orang mengangkat sumpah.
Dalam hal ini suku Lamau menunjuk kepala Bada Leran dan Suku Atawatung menunjuk kepala Gute. Selanjutnya Kapitan memerintahkan untuk menggores tangan kedua wakil tersebut dan meneteskan kedalam gelas masing – masing. Kemudia Kapitan mempertukarkan gelas kedua belah pihak. Gelas milik Kepala gute di berikan pada Kepala Leran begitu sebaliknya. Kepada kedua wakil tersebut diperintahkan untuk meminumnya. Setelah minum ternyata tidak ada reaksi apa – apa, kedua belah pihak tidak merasakan ada perubahan. Melihat kenyataan ini Kepala Gute mendatangi suku Lamau sambil berkata “ sejak tadi aku sudah bilang bahwa sumur itu milik suku Atawatung “. Kemudian Kepala Gute bergegas pergi dan mengajak seluruh pasukan Atawatung untuk kembali. Sesampainya dirumah kepala Gute terhuyung – huyung dan jatuh tergeletak dan tidak bernyawa lagi.
Melihat kepala Gute meninggal, akhirnya Kapitan Solana menetapkan bahwa sumur tersebut adalah milik suku Lamau. Suku lamau kemudian menggelar pesta untuk menyambut kemenangan tersebut. Sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Tokojaeng yang telah membantu diberikan tanah sebagai tempat tinggal. Sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Tokojaeng dan Lewotaka, Lamau mempersilahkan untuk mengambil sebagian lahan untuk ditempati agar tidak pulang. Maka sejak itu pasukan yang membantu lamau baik Tokojaeng dan Lewotaka tinggal diLamau dan tidak pulang lagi ketempat asal. “
Sumber : Ismail ( Warga desa Lamau, Kecamatan Ilie Ape, Kabupaten Lembata)
PERANG SUKU LANGO URAN DENGAN LAMAU
SEBAGAI AWAL ALIH KEPEMILIKAN LAHAN DESA LAMAU
Suatu pagi seperti hari –hari sebelumnya mereka pergi mengiris tuak bersama, setelah mengiris tuak timbul niatan Lewodawan untuk menunjukan kesaktiaanya kepada Lewodawan. Lewodawan setelah mengiris tuak berteriak kepada Lewotaka “ Lewotaka lihat disini ada seekor rusa !”. Terlihatlah seekor rusa yang keluar dari segerombolan semak dibawah pohon tuak dimana Lewodawan mengambilnya. Dalam hati Lewotaka ini kesempatan untuk menunjukan kesaktiannya memanah kepada Lewodawan. Tanpa berfikir panjang mengeluarkan panah dan mengarahkan anak panah rusa. Panah meluncur kearah tepat menghujam jantung rusa dan rusa tergelatak mati. Melihat rusa tergeletak sekjap itu pula Lewotaka bergegas lari menghampirinya, namun setelah dekat alangkah terkejutnya Lewotaka setelah sampai dilokasi dimana rusa tadi berada, dengan melihat Lewodawan terbujur kaku tertembus busur panah tepat dijantungnya.
Berita itu segera tersebar ketelinga suku Lamau, dalam waktu sekejab berkumpulah kedua suku tersebut ke tempat kejadian. Melihat kenyataan pemimpinan tewas mereka merasa terpukul, yang lebih mengejutkan lagi setelah melihat anak panah yang menancap ditubuh Lewodawan adalan anak panah Lewotaka. Sepontan mereka berteriak “ Lewotaka, kenapa kamu bunuh Lewodawan “. Karena tidak merasa membunuh dengan segaja, maka Lewotaka berusaha menjelaskan duduk permasalahannya. Namun mereka tidak mau tahu, kenyataan didepan mata sudah cukup menjadi bukti yang kuat. Maka saat itu juga suku Lamau menyatakan perang terhadap suku Lewotaka untuk membalas dendam atas kematian Lewodawan.
Untuk memperkuat pasukannya maka suku Lamau meminta bantua suku Tokojaeng, sementara suku Lango uran minta bantuan pada suku Atawatung. akhirnya perang tidak bisa dihindarkan kedua belah pihak saling baku bunuh. Setelah beberapa hari berperang suku Lewodawan kalah.
Setelah perang berakhir sebagai ucapan terima kasih atas bala bantuan pasukan Atawatung, Lewotaka menyerahkan sebagian tanahnya kepada suku Atawatung. tanah tersebut berada disugi Moting. Setelah kejadian itu tidak ada perselisihan lagi.
Sumber : Ismail ( Warga desa Lamau, Kecamatan Ilie Ape, Kabupaten Lembata)
SEJENAK DENGAN DESA LAMAU, ILE APE, LEMBATA
Ceritera Pengamatan 24-26 MEI 2007

DISKRIPSI WILAYAH LAMAU
Desa Lamau merupakan salah satu desa dikecamatan Ile Ape, kabupaten Lembata. Wilayah ini merupakan dataran rendah yang menjorok kelaut. Sebelah barat berbatasan dengan desa Aulesa, sebelah timur berbatasan dengan Lamatokan, sebelah utara berbatasan dengan laut dan sebelah selatan berbatasan dengan gunung Ilie Ape. Desa ini dihuni 80 KK, dengan jumlah penduduk sekitar 200 jiwa. Tata ruang desa ini terbagi dalam 4 zona besar tangkapan air dilereng gunung Ilie, pemukiman, lahan pertanian dan pantai.
1. Zona Puncak Gunung:
Desa Lamau berada di kaki gunung Ilie Ape. Gunung ini dalam status masih aktif, setiap hari mengeluarkan lahar meskipun jumlahnya sangat sedikit. Meletus terakhir kali kurang lebih 30 tahun yang lalu. Kondisi puncak gundul, tidak ada tanaman yang bisa hidup disini.
Satu hal yang perlu diwaspadai untuk menghadapi ancaman bencana adalah menyiapkan model kesiap siagaan masyarakat. Hal ini perlu dipersiapkan karena desa ini berada jauh dari kota, serta sarana transportasi yang terbatas. Beberapa desa sekitarna juga mengalami problem serupa.
2. Zona Padang Rumput
Zona ini merupakan hamparan padang rumput yang melingkar gunung. Semula zona ini dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. awalnya komoditi yang dibudidayakan komoditi jagung, kacang, dan ketela pohon. Namun dalam beberapa tahun terakhir selalu gagal panen karena dimanak babi. Akhirnya komoditinya dirubah dengan padi dan kacang hijau, karena komoditi ini tidak disukai babi. Tanaman ini dibudidayakan menjelang musim kemarau, terutama kacang hijau.
Dalam menyiapkan lahan untuk tanaman, dengan terlebih dahulu dilakukan pembakaran untuk membersihkan rumput dan abunya bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman. Penanaman padi biasanya dilakukan pada saat musim hujan, sementara kacang hijau ditanam menjelang musim kemarau. Namun lahan tersebut sekarang tidak lagi dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Meskipun demikian pembakaran lahan untuk membersihkan rumput ini selalu dilakukan setiap tahun. Api seringkali merambat sampai ke hutan tutupan dibawahnya. Maka ancaman kerusakan terbesar adalah kerusakan konservasi hutan. Bila ini hutan sampai gundul maka penduduk desa disepanjang kawasan ini terancam krisis air.
Sebaiknya perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mendorong pengelolaan kawasan ini untuk memperluas hutan lindung.
3. Zona Hutan Lindung
Zona hutan lindung merupakan penyanga terpenting dalam menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber air. Luas hutan ini kurang lebih ….ha, dengan jenis tanaman berupa tanaman keras yang sudah berumur puluhan tahun. Zona ini juga melingkar sepanjang gunung. Namun kondisinya sekarang mulai konservasi kawasan ini mulai terancam. Penyebabnya adalah modernisasi didesa yang merubah pola hidup merubah rumah hunian menjadi rumah permanen membutuhakan kayu yang sangat banyak. Sementara untuk mendapatkan kayu selama ini disuply dari Sulawesi dengan harga yang cukup tinggi. Kegiatan ini menunjukan angka peningkatan yang cukup tinggi. Indikatornya adalah kegiatan pembangunan rumah hampir setiapa hari terjadi. Sebelumnya orang tidak terlalu repot dengan pembangunan rumah, bagaimana merenofasi dan lain-lain.
Penyebabnya yang lain seperti dipaparkan sebelumnya adalah pembakaran padang rumput yang dilakukan setiap tahun pada Zona padang penggembalaan dan padang rumput. Setiap tahun kegiatan pembersihan lahan dengan melakukan pembakaran ini setiap tahun. Selain pembakaran juga mulai ada beberapa orang yang sudah mulai merambah hutan ini untuk mendapatkan kayu bakar dan kayu untuk bangunan. Upaya perambahan hutan ini berdasarkan informasi beberapa penduduk peserta belajar akhir – akhir ini grafik perambahan hutan menunjukan angka peningkatan.
4. Zona Padang Pengembalaan Ternak
Zona ini berada tepat dibawah zona hutan lindung, kawasan ini disiapkan oleh masyarakat untuk melepas ternaknya piaranya. Secara yuridis penetapan kawasan ini menjadi padang penggembalaan ditetapkan sejak tahun 1990-an. Bahkan sejak tahun 2000 sudah dikukuhkan dalam bentuk perdes. Penyediaan lahan ini sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan tanaman pangan dilahan penduduk. Selain dilepas ternak diwajibkan untuk diikat sehingga tidak berkeliaran disebarang tempat. Ternak yang dikembangkan yaitu kambing dan sapi. Pemeliharaan ini lebih pada untuk pemenuhan kebutuhan adat. Tetapi bukan sebagai aset ekonomi keluarga. Jumlah ternak didesa ini Ternak disini terdiri dari kambing kurang lebih 5000 ekor dan kuda jumlahnya kurang dari 50 ekor.
Kawasan ini sangat berpotensi sebagai lumbung tenak, dengan melihat keragaman sumber pakan dan luasnya padang rumput diwilayah ini. Permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah tidak adanya pedagang yang membeli ternak. Satu peluang yang saya kira perlu untuk distudi dan dianalisis lebih lanjut.
5. Zona Pemukiman
Pemukiman ini dihuni 80 KK, dengan jumlah penduduk sekitar 200 jiwa. Jarak rumah satu dengan yang lain sangat rapat. Biasanya rumah – rumah ini berada disepanjang jalan besar menggerombol 5 – 10 rumah. Pemukiman penduduk berada disepanjang jalan desa. Biasanya Dari jumlah tersebut sekitar 20% merupakan buruh migran di Malaysia. Disini hidup dihuni dua penganut agama yang hidup rukun, kedua agama tersebut 75% beragama Islam dan 25% beragama Katolik.
Hampir 90% penduduk tinggal dirumah – rumah berdinding bamboo dan kayu, dengan atap ilalang. Sarana sanitasi yang ada dipemukiman yang dimiliki berupa MCK yang terbuat dari bangunan bamboo sebagai dinding. Tidak ada saluran pembuangan air limbah, sehingga air mengenang disekitar pemukiman yang berpotensi menjadi sarang nyamuk.
Sarana dan prasarana transportasi adalah berupa jalan tanah yang diperkeras dengan batu, sementara untuk mobilalisasi penduduk menggunakan angkutan umum berupa truk. Dalam sehari angkutan ini maksimal 2 kali PP. Dengan ongkos untuk ke Lewoleba untuk anak sekolah Rp. 10000,PP. sedangkan untuk umum Rp. 20.000,- sekali jalan pulang pergi. Selain ini ada beberapa alat transportasi berupa sepeda motor pribadi.
6. Zona Pertanian
Zona ini luasnya kurang lebih 160 ha, berada memanjang diutara pemukiman penduduk. Dari luasan tersebut hanya 80 ha yang selama ini dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan. Komoditi yang dikembangkan cukp banyak yaitu jagung, ketela pohon, kacang hijau, kacang tanah, dan beberapa komoditi lain tetapi skalanya relative kecil ( Labu, ketela rambat, pisang, koro – koroan, kacang panjang dan beberapa komoditi lain).
Model penanaman dilakukan secara tumpangsari, dalam satu petak komoditi yang dikembangkan bisa mencapai 20 komoditi. Sementara komoditi yang diandalkan adalah Jagung, kacang tanaha dan kacang hijau. Lainya diangap sebagai tanaman tambahan. Namun belum semua komoditi yang ada dikonsumsi.
7. Zona Pantai
Pantai berada disepanjang desa sebagai batas desa bagian utara. Setelah zona pertanian terdapat hutan yang memanjang sepanjang pantai dengan lebar kurang lebih 20 m. Hutan ini ditumbuhi semak belukar dan tanaman tahunan dan sedikit kelapa.
Namun kondisi hutan tersebut mulai terancam karena abrasi pantai yang cukup parah. Abrasi pantai ini menunjukan angka peningkatan yang cukup serius dalam 2 tahun terakhir. Kurang lebih 10 m daratan sepanjang pantai hanyut terbawa air laut. Abrasi ini juga mengancam keberadaan hutan pantai. Sekitar 2 baris pepohonan tersebut ikut hanyut terbawa air laut.
Kejadian ini merupakan satu peristiwa yang cukup serius untuk menjadi catatan penting. Bila tidak diatasi maka dapat kita bayangkan dengan ketinggian desa hanya 1 m diatas permukaan laut dan dengan jarak kurang lebih 200 m dari bibir pantai. Maka diprediksikan sekitar 20 tahun kedepan maka dataran ini akan habis tergerus air laut.
Namun sebelum mencapai desa ancaman yang sangat serius adalah lahan pertanian sebagai sumber pangan dan penghidupan masyarakat didesa ini. bila ini terjadi maka sangatlah mungkin akan terjadi ancaman yang serius terhadap ketersediaan pangan.

Gagasan Membangun Lamau
Pengamatan ini akhirnya mau menyarankan kepada pemerintah dan para pihak untuk membangun gagasan membangun desa Lamau dan desa-desa lainnya di Ile Ape, Lembata. Pertanian bisa menjadi pilihan, namun tetap memperhatikan pengembangan jenis-jenis tanaman biji dan sayuran yang akan menjadi bahan pangan penduduk. Demikian pula dengan ternak skala rumah tangga.

Hal lain yang belum dilaksanakan adalah bagaimana menghubungkan penduduk di desa ini dengan wilayah lainnya yang berpenghasilan memadai. Wilayah ini bertetangga dengan Kecamatan Lebatukan dan Atadei yang subur dan menghasilkan berbagai hasil pertanian yang bisa mendukung inisiatif di Ile Ape seuruhnya atau desa Lamau khususnya.

Yang perlu dibangun adalah analisis peluang usaha yang berkaitan dengan pasar terdekat di Lewoleba serta perbaikan skill penduduk untuk bisa mengolah home industri berbasis hasil pertanian dari Lebatukan dan Atadei seperti pisang, kelapa dan singkongg.

Yang berminat, mari kita diskusikan bagaimana membangun desa Lamau sebagai ikon dari Ile Ape seluruhnya di Kabupaten Lembata.*** (Melky Koli Baran)

Rabu, 29 Juli 2009

TRAFFICING, BUKAN MITOS

Hampir setiap minggu koran lokal di NTT, khususnya Pos Kupang di Kupang dan Flores Pos di Ende menyuguhkan berita-berita kasus ketenagakerjaan, khususnya buruh migrant. Seperti penggagalan pengiriman TKI/W di pelabuhan-pelabuhan (Maumere, Ende, Lewoleba dan Kupang). Juga kisah penipuan dan pemerasan tenaga kerja yang pulang ke kampung halaman. Bahkan di depan pintu masuk rumah sendiri masih ditipu oleh para sopir dan calo penumpang bus. Bahkan daerah ini pernah heboh dengan kisah penganiayaan Nirmala Bonat asal NTT di Malaysia yang penegakkan hukumnya hingga kini belum jelas. Itu salah satu kasus yang berhasil mencuat. Apakah hanya satu kasus ini? Ataukah masih ada kasus serupa namun lolos dari perhatian?
Selain itu, menarik untuk ditelusuri adalah seperti apa jaringan “perdagangan” manusia berkedok bantuan mengeluarkan masyarakat Flores dari kemiskinan? Mengapa di samping ada proses-proses yang disebut legal, masih ada juga proses lain yang disebut ilegal yang kemudian menjadi lahan pemerasan? Sejauh mana penegakan UU 39/2004 yang sudah cukup baik mengatur perlindungan terhadap TKI.[1] Dan seperti apa motivasi bekerja ke luar negeri, sehingga arus perantauan dari Flores terus saja berlangsung dari tahun ketahun bahkan semakin masif?[2] Padahal berbagai upaya telah dilakukan pemerintah di Flores untuk membendung arus migrant dengan alasan agar pembangunan di daerah berjalan lambat karena kekurangan tenaga kerja laki-laki.[3]
Profil Pengiriman TKI dari Flores
Assasment yang pernah dilakukan YPPS bekerja sama dengan FIRD akhir 2006 sekurangnya memberikan informasi yang bisa memberikan gambaran seperti apa profil pengiriman TKI dari Flores.[4]
Mengikuti jalan pikiran umum yang berkembang, para pekerja migrant dari Flores tergolong dalam dua kelompok baik laki-laki maupun perempuanya. Kelompok pertama adalah para pekerja migrant ilegal dan kelompok kedua adalah legal. Sebelum tahun 1990, umumnya pekerja migrant dari Flores merupakan pekerja yang diberangkatkan tanpa dokumen resmi seperti disyaratkan UU sehingga dikategorikan ilegal. Mereka dipromosikan oleh para calo yang adalah eks pekerja migrant asal Flores dari Malaysia. Melalui pengalaman ini, mereka kembali ke Flores dan mencari tenaga kerja baru untuk didistribusikan di Malaysia. Memasuki tahun 1990-an hingga kini cara pengiriman ilegal masih tetap ada, namun sudah dimulai pemrosesan legal oleh perusahaan pengerah calon tenaga kerja (PPCTKI). Akhir tahun 2006 ada 34 PPCTKI yang memiliki ijin operasional di NTT dan melakukan perekrutan,[5] termasuk Flores dengan total tenaga kerja yang diproses resmi kurang lebih 940 tenaga kerja laki dan perempuan tidak termasuk Kabupaten Ende dan Manggarai Barat. Belum juga dihitung tenaga kerja yang berangkat secara ilegal.[6]
Profil Kemiskinan Flores
Salah satu alasan dominan yang digunakan untuk bekerja ke luar negari adalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, pendidikan dan pembangunan rumah tinggal serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Artinya, jika tidak memilih bekerja sebagai buruh migrant ke luar negeri maka berbagai kebutuhan di atas tidak bisa terpenuhi. Dengan kata lain, tingkat penghidupan masyarakat Flores rata-rata miskin sehingga bekerja ke luar negeri menjadi salah satu jalan mengatasi kemiskinan. Kemiskinan menjadi bentuk ketakmampuan memenuhi berbagai kebutuhan dasar dan kebutuhan pendukung lainnya. Perantauan menjadi salah satu jalan pemecahan masalah kemiskinan. Pendapatan per kapita hanya 2 juta rupiah pertahun atau 30% dari rata-rata nasional (Pos Kupang, 5 September 2006). Dari aspek pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar, sebanyak 933 desa di NTT beresiko Rawan Pangan (Pos Kupang, 22/11/2006). Koran Pos Kupang ini melansir, Kabupaten Ende mencapai 211 desa, Lembata 129 Desa, Sikka 121 desa. Oleh Kepala Bidang kewaspadaan pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT Ir. Alexander Sena, dari jumlah desa ini, 35 masuk kategori aman, 410 resiko ringan, 331 resiko sedang dan 157 resiko tinggi. Juga data Badan Bimas Ketahanan Pangan Propinsi NTT per 29 Agustus 2006 memperlihatkan resiko rawan pangan kabupaten-kabupaten di NTT sangat memprihatinkan.
Gagasan Advokasi Buruh Migrant Flores
Ternyata sepintas dibaca bahwa profil kemiskinan telah turut berkontribusi bagi terbentuknya profil buruh migrant di Flores. Kondisi ini kemudian menjadi lahan empuk bagi bekerjanya jaringan-jaringan mafia Trafficking. Artinya, jika menyasar buruh migrant sebagai sebuah problem kemanusiaan, maka persoalan kemiskinan hendaknya menjadi fokus analisis dan advokasi yang tidak bisa dipandang kecil. Dengan demikian, gagasan advokasi buruh migrant di Flores hendaknya menjadi sebuah gagasan yang integratif dengan isu pokok kemiskinan dan pemenuhan seluruh hak dasar rakyat Flores. Hak atas pekerjaan ke mana saja, termasuk ke luar negeri menjadi hak setiap orang. Namun yang hendak diadvokasi adalah bagaiamana hak itu diletakan di dalam seluruh kerangka hak asasi manusia menuju pemenuhan hak-hak dasar tadi.
Gagasan advokasi ini bertujuan memberikan kontribusi pada pengurangan proses-proses trafficking dan kemiskinan demi penegakkan hak-hak masyarakat pencari kerja. Untuk kepentingan ini, maka berbagai asumsi menjadi alasan melakukan advokasi. Seperti apa alur proses aliran uang dari perantauan ke Flores yang berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, seperti apa kebijakan pemda kabupaten dan lembaga-lembaga keuangan atau perbankan di daerah mengelola uang yang bersumber dari perantauan sehingga problem kemiskinan rakyat dikurangi. Seperti apa peta perekrutan dan pengiriman calon tenaga kerja ke luar negeri serta seperti apa perlindungan bagi buruh migrant saat diberangkatkan, selama berada di luar negeri dan saat kembali ke kampung halaman.
Untuk mewujudkan mimpi-mimpi ini, Yayasan Pengkajian hendak melakukan sejumlah kegiatan di Flores, yang dimulai dari kabupaten Flores Timur. Seperti melakukan studi mempelajari proses perekrutan, pengiriman dan penempatan tenaga kerja ke luar negeri, studi penelusuran aliran keuangan dari sektor buruh migrant dan pengelolaannya serta kontribusinya bagi pengurangan kemiskinan di Flores, pengorganisasian bagi calon-calon buruh migran, persiapan kondisi Florers bagi para pekerja migrant yang kembali ke daerah asal dan memfasilitasi upaya-upaya inovatif demi perbaikan ekonomi domestik masyarakat Flores sehingga tidak tergiur menjadi “budak” di luar negeri.
(Tulisan ini merupakan koncept paper yang terbuka bagi siapa saja lembaga yang berminat membangun kerja sama dengan YPPS dalam mewujudkan mimpi advokasi buruh migrant dari daerah asal.Kerja sama bisa dalam bentuk pertukaran informasi, studi bersama maupun dukungan pendanaan untuk melakukan gagasan ini. Bagi yang berminat bisa kontak ke ypps_wbl@yahoo.com, atau hp. 081.339.481.916 atas nama Melky Koli Baran)
[1] UU ini mengatur mulai dari pengiriman, penempatan hingga pemulangan TKW. Berbagai persyaratan harus dipenuhi oleh TKW dan juga ada kewajiban PJTKI
[2] Disebut meluas sebab dua dasawarsa sebelumnya antara tahun 1960-an hingga 1980-an pekerja migrant hanya berasal dari Timur Flores (Lembata dan Flores Timur) namun saat ini hamper merata di seluruh Flores.
[3] Tahun 1984 Bupati Flores Timur Simon Petrus Soliwoa mencanangkan Operasi L (Larantuka) dengan tujuan membendung arus perantauan ke Malaysia.
[4] Trafficking: Bukan Mitos!, Laporan Assasment Buruh Migrant se-Flores, FIRD, 2006
[5] Surat Kepala Dinas Nakertrans NTT perihal Laporan bulanan perkembangan PJTKI dan Kantor cabang PPTIS di prop.NTT tgl 1 Nopember 2006, seperti dikutip Laporan Assasment FIRD, 2006.
[6] Pengiriman legal mensyaratkan mereka yang berijasah minimal SMP/SLTP, padahal kebanyakan yang berangkat bekerja ke luar negeri (Malaysia) hanya berbekal pendidikan SD.