Jumat, 07 Mei 2010

EMBUN DI ATAS DAUN

Gerimis kecil-kecil membasahi Wisma Sesabanu, Minggu, 10 Januari 2010. Marsel Payong, putera Desa Bungalawan, Adonara Timur melangkah malumalu menuju aula rumah kedamaian di Hokeng itu. Setelah mengisi buku tamu, Marsel menuju biliknya. Menaruh tas di bilik lalu menuju ruang minum. Kopi Hokeng menjadi pilihanya, mengusir dahaga di senja sepi.

Sore itu, para peserta Pelatihan Managen Bencana Berbasis Masyarakat atau yang dikenal dengan sebutan mentereng Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) tiba di tempat pelatihan.

Pelatihan diselenggarakan oleh Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Flores
Timur atas dukungan Oxfam GB.

Ketika bincang-bincang tentang pengalaman bencana, Marsel Payong bilang kepada temanteman
peserta bahwa gempa bumi 1992 membuatnya begitu ketakutan. “Goyangannya begitu dahsyat,
membuat semua bangunan hancur”, kenang Marsel.

Lain lagi pengalaman Flori Bura dari Ilebura. “Pengalaman bencana yang tak terlupakan adalah meletusnya gurung Lewotobi. Desa kami berada di kaki gunung api ini. Dampaknya begitu kami rasakan” kata Flori dengan mata berkaca-kaca. Senanda dengannya, Maria Florentina dari Ilebura bercerita bahwa pengalamannya yang berkaitan dengan bencana adalah kebakaran. Kebakaran mengakibatkan hangusnya kebun dan hutan, hancurnya sumber-sumber penghidupan bagi manusia.

Selama tiga hari di Wisma Sesabanu, para peserta pelatihan bergulat dengan pengalaman
kebencanaan dan mencoba memaknainya. Darinya, lahirlah gagasan-gagasan tentang pengurangan risiko bencana. Bahwasanya, bencana tak dapat dihindari. Namun, risikonya dapat dikurangi. Di titik inilah, para peserta pelatihan menggagas paradigma penanganan kebencanaan berbasis masyarakat sambil tidak melupakan sejumlah kearifan lokalnya. Pelatihan difasilitasi oleh Melki Koli Baran, Direktur Eksekutif YPPS dan Piter Embu Gusi, dari LBH Nusra.

Pengalaman menghadapi bencana telah menjadi pengalaman bersama dewasa ini. Entah bencana
alam, bencana industri maupun bencana sosial. Ketika terjadi bencana, peristiwanya serta dampakdampaknya mudah disaksikan hingga ke pelosokpelosok berkat tersedianya sarana-sarana komunikasi. Sejalan dengan itu, kita juga mudah menyaksikan berbagai kegiatan
menanggapi terjadinya bencana.

Kejadian bencana mengundang aksi solidaritas berbagai pihak. Pemerintah dan kalangan swasta bergerak mengurangi risiko-risiko yang ditimbulkan oleh kejadian bencana tesebut. Bencana menjadi sarana terbangunnya solidaritas antara manusia.

Dalam konteks serupa, Pater Piet Nong, SVD yang dalam pelatihan ini hadir memberikan pencerahan reflektif menegaskan, solidaritas berarti kesetiakawanan dengan sesame cipataan. Karenanya, menurut pastor sosiolog ini, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan. Pertama,
compassion/belarasaa; merasa menderita bersama yag lain, termasuk dengan alam ciptaan. Ketika pohon tumbang kita juga semestinya merasakan sakit. Kedua, communion/panguyuban; adanya perasaan disatukan. Ketiga, collaboration/kerja sama; bertindak atau bergerak bersama orang lain.

Hemat Piter Embu Gusi refleksi Pater Piet merupakan sebuah nilai positif bagi keselamatan
manusia. Keselamatan itu dimulai dan bermula dari solidaritas. Dan untuk mencapai hal ini, bisa
dimulai dari hal-hal kecil. Thomas Doni Liat, Kepala Desa Bungalawan-Adonara melihat bahwa
hal-hal kecil itu sudah nampak dalam komunitas-komunitas minoritas di desa-desa yang memiliki nilai-nilai adat budaya.

Sejalan dengan seringnya terjadi bencana dan terbangunnya aksi-aksi solidaritas, tak tertutup
kemungkinan untuk menempatkan masyarakat/komunitas korban sebagai pihak yang umumnya
tidak berdaya. Menjadi pihak yang sepenuhnya berharap pada rasa solidaritas pihak lain. Kondisi ini dapat saja secara sistematis membangun konsep bahwa ketika terjadi bencana, masyarakat korban menunggu untuk dibantu.

Dalam konteks managemen bencana, sedang dikembangkan konsep management bencana yang
diharapkan menempatkan komunitas korban bukan sebagai pihak yang menunggu bantuan semata dari pihak luar. Sebab, ketika bantuan pihak luar belum masuk ke sebuah komunitas yang tertimpa bencana, komunitas tersebut tentu memiliki upaya untuk mempertahankan hidup dan meringankan derita atau mengurangi risiko kehancuran, kesakitan dan kematian. Konsep ini meyakini bahwa korban bisa menolong dirinya sebelum bantuan dari luar tiba.

Inilah konsep Management Bencana Berbasis masyarakat (Community Based Disaster Risk
Management) yang disingkat CBDRM. Konsep ini sangat mengandalkan kemampuan (kapasitas)
masyarakat setempat yang dapat secara bergotong royong mengurangi risiko bencana atau
meringankan beban yang ditimbulkan oleh kejadian bencana.

Dalam kerangka mengembangkan managemen pengurangan risiko bencana, kapasitas masyarakat lokal perlu difasilitasi dan didayagunakan, agar masyarakat korban tidak larut dalam kesedihan dan ketak berdayaan tetapi bangkit bersama mengembangkan sistem bersama untuk tangguh dan bisa bangun dari kehancuran.

Sebelum bantuan luar tiba, masyarakat korban harus bisa membantu diri sendiri. Demikian pula
fase sebelum bencana atau tahap kesiap siagaan dan fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam
keseluruhan siklus bencana, kekuatan masyarakat lokal atau komunitas setempat haruslah menjadi andalan. Sangat diyakini bahwa masyarakat memiliki kapasitas yang tersebar dalam seluruh sumber daya yang dimiliki masyarakat, baik alam, manusia, finansil, infrastruktur dan sosial.

Inilah embun-embun kekuatan yang memberi warna khas bagi komunitaskomunitas korban.
Warga komunitas perlu merefleksikan ulang dan memperkuat kembali sistem-sistem sosial
komunitasnya sebagai embun kekuatan menghadapi potensi-potensi terjadi bencana. Setiap komunitas dan desa tentu memiliki kearifan dan pranata lokal yang sesungguhnya menjadi kekuatan bersama. Hal ini haruslah menjadi media belajar bersama di antara masyarakat.
Apapun dan siapapun komunitas korban, tentu memiliki embun kekuatan untuk bangkit dari
situasi bencana yang tak mengenakkan. Embun akan selalu ada di atas daun sebelum terurai dan
terjatuh di rerumputan.

(Artikel ini ditulis Anselmus Atasoge untuk HU
Flores Pos dan dimuat Flores Pos tanggal 1 Februari
2010)**

1 komentar:

  1. Teman-teman, membangun rumah dengan karung tanah sudah sangat jelas terbukti cocok utk lokasi rawan gempat. Biaya membangunnya sangat tidak mahal, tapi lebih penting lagi tidak rubuh, seperti terbukti dg goyang gempa kuat di Haiti Januari 2010 yang lalu. Mohon dilihat optimisme dari Haiti di link ini: http://earthbagbuilding.wordpress.com/2010/01/18/earthquake-resistant-earthbag-houses, tapi mohon dilihat juga bagaimana cara membangunnya di website ini: (1) semua pertanyaan dan jawaban dasar -- http://www.earthbagbuilding.com/faqs.htm; -- http://www.earthbagbuilding.com/faqs.htm -- penjelasan langkah demi langkah cara membangun: http://www.earthbagbuilding.com/articles/stepbystep.htm; http://www.earthbagbuilding.com/articles/stepbystep.htm; (3) struktur dasar rumah dg dinding berbentuk persegi dan tanpa tiang sama sekali:http://www.earthbagbuilding.com/pdf/simpleearthbuildings3.pdf; http://www.earthbagbuilding.com/pdf/simpleearthbuildings3.pdf. Semoga bermanfaat. Salam saya senantiasa.

    BalasHapus